
CERITAKU DI SAAT PANDEMI (Karya: Okta Nabila Sari)
Penulis
Perkenalkan
nama saya Okta Nabila Sari atau biasa dipanggil Okta, lahir pada 1 Oktober 2005
di kota Cantik Palangkaraya. Saya
sebagai siswi dari sekolah SMAN 6 Palangka Raya
dan masih duduk di bangku kelas X Bahasa. Pandemi bukanlah halangan untuk kita
melakukan aktivitas seperti biasa atau mencoba hal-hal yang baru akan tetapi
selalu mentaati protokol kesehatan.
Waktu
dan pandemi
Waktu
terus berputar hari demi hari
sudah
terlewati lalu kapan pendemi
ini akan berhenti.
Palangka Raya, 30 Jan 2021
Ceritaku di Saat Pandemi
Karya Okta
Nabila Sari
Kelas X
Bahasa SMAN 6 Palangka Raya
Secuil
keluh kesah telah tertulis apik di buku diariku.
Beberapa jam yang lalu semua tugas daring dari sekolah sudah aku selesaikan.
Bosan. Satu kata yang dapat
mendeskripsikan keadaannya saat ini. Kucari aktivitas lagi dengan
memilih bangkit dan merapikan beberapa buku yang masih berantakan. Sesekali
mataku membaca materi yang tercatat rapi dari guru-guruku. Pandemi Covid-19
yang memaksa kami belajar dari rumah. Aktivitas belajar pun tidak seperti
sekolah biasanya. Kami hanya bisa bertukar sapa hanya dengan bantuan teknologi
saja.
Munafik rasanya jika senang belajar
di rumah. Tak ada teman bersenda gurau. Guru-guru yang
membimbing. Ditambah lagi
paket internet yang terus terkuras dan materi yang
dijelaskan pun jarang terserap ke dalam
otak. Dunia
memang semakin canggih, dengan kemajuan sekarang ini sebenarnya semua ada di google. Namun, perannya tetap saja tidak bisa menggantikan
manusia apalagi guru. Sebagai manusia normal yang merupakan makhluk sosial, aku
turut berontak dalam benakku.
Grup Whatsapp berbunyi dan dengan buru-buru segera
kubuka. Rupanya wali kelasku, Pak Glory menyampaikan pengumuman. Sempat aku
berharap itu adalah pengumuman bahagia, berisi tentang pandemi telah berlalu
dan kami boleh sekolah lagi. Sudah bisa kutebak memang, isinya bukan itu.
Beliau meminta kami mengaktifkan akun pembelajaran. Tutorial lengkapnya pun
diberikan. Tanganku dengan lincah memainkan telepon pintar segera mengikuti
instruksi. Wali kelasku ini cukup galak, walau hanya beberapa kali bertemu.
Hampir seisi kelas sudah pernah “dikejar” sampai ke orang tua jika tidak aktif.
Aku memandangnya sebagai kepedulian dan memang itu salah satu yang kami
butuhkan saat ini.
“Lho, kok? Kenapa aku tidak bisa masuk akun?” Keluhku
tiba-tiba.
Kuulangi lagi langkah-langkah yang diberikan. Satu per
satu rasanya tak ada yang terlewat. Aku mulai panik. Kuberanikan diri ingin
menghubungi Pak Glory. Namun, tiba-tiba niat itu aku urungkan. Aku coba
tanyakan ke teman sekelas saja dulu pikirku.
“Halo, Put? Kamu sudah bisa aktivasi?” Telponku ke Putri,
teman sekelasku.
“Halo. Bisa aja nih Okta. Punyaku lancar aja” Jawab Putri
dengan polos.
“Bantuin dong Put. Punyaku nggak bisa nih. Please.” Aku memelas kepada Putri.
“Iya boleh. Ke rumah aja ya”
“Yes. Siap-siap otw
nih.” Girangku mendapat jawaban.
“Eits, jangan lupa protokol kesehatan ya. Pakai masker.”
Ujar Putri memperingati.
“Siap Bos” Timpalku.
Usai bersiap-siap dengan ritual dandan seadanya, kuraih
sepeda motor untuk ke rumah Putri. Letaknya tidak sampai 3 km dari rumahku,
jadi tidak akan butuh waktu lama. Di tengah perjalanan aku lupa. Paket
internetku tidak ada. Selama ini aku mengandalkan wifi di rumah. Jadi, jika aku keluar dari zona sinyalnya maka
otomatis tak ada akses internet. Tak jauh dari tempatku berada ada sebuah toko
ponsel. Sepeda motorku kini terparkir di halamannya. Toko ponsel ini kata kakak
kelasku adalah milik salah satu guru kami. Aku belum pernah bertemu dan sedikit
penasaran juga. Rupanya yang menyambutku adalah sosok laki-laki muda yang
sedang berjaga hari itu.
Tak lama berselang, datang pula ke tempat itu seorang
nenek dan cucunya yang mungkin kalau kutebak sepantaran aku. Menghormati yang
lebih tua, aku mempersilakan nenek tersebut duluan. Sambil menghitung uang
pecahan dari kantong jaketku, tak sengaja aku menguping.
“Cu, ada HP yang bisa internetan?” Tanya Nenek itu kepada
penjual.
“Semua bisa interneta Nek. Silakan dipilih” Balas pemuda
itu sopan.
“Apakah ada yang bekas saja, Cu?” Kembali Nenek bertanya
tanpa basa basi.
“Harga berapa, Nek?” Tanya pemuda itu.
Pelan-pelan si Nenek mulai mengeluarkan uang dari
kantongnya. Nampak lusuh dan sepertinya diambil dari celengan atau sejenisnya.
Sebagian terlipat berbentuk segitiga. Dibantu cucunya uang tersebut sudah
dihitung dengan total Rp385.000. Masih dengan senyum ramah, sosok pemuda itu ke
belakang. Tanpa sadar aku yang dari tadi menyaksikan kini mulai dilemparkan
senyum oleh si Nenek. Salah tingkah, aku balas senyum sambil pura-pura mengecek
HP-ku. Tak lama, muncullah si pemuda. Lalu mengambil sebuah HP dari etalase. Sempat kuintip harga yang
menempel sebelum buru-buru dilepas oleh pemuda itu.
Si Cucu tampak girang, begitu juga Neneknya. Mereka
pulang dengan sebuah HP terbungkus kresek ditenteng. Aku heran dan penasaran.
Langsung bertanya bagai naluriah.
“Mas, maaf tadi saya kalau nggak salah lihat HP itu
harganya Rp600.000 kan?” Aku sontak saja sebenarnya sadar, kenapa berani
tanya-tanya begitu. Bisa jadi mataku yang salah. Tapi terlanjur.
“Iya mba benar, tadi saya tanya Bapak di belakang. Beliau
yang meminta berikan. Katanya berbuat baik tentunya mendatangkan hal baik juga”
Jawab si penjaga toko.
“Oh, maaf mas. Soalnya tadi saya penasaran” Ucapku
malu-malu.
“Iya mba. Nggak apa-apa. Nenek itu kasian lho. Cucunya tadi itu sudah yatim piatu.
Tinggal berdua saja sama Neneknya. Penghasilannya cuma dari pensiunan almarhum
Kakeknya yang tidak seberapa.” Tambah si Pemuda.
Aku merasa terharu atas kejadian itu. Aku mensyukuri
keadaanku yang sekarang. Tidak semua orang hidupnya beruntung. Aku malu rasanya
sempat mengeluh. Apalagi di masa pandemi begini. Semua serba susah. Harusnya
aku bisa juga melakukan hal-hal yang membantu. Aku bertekad tidak akan
kecewakan orang tuaku yang sudah bekerja keras. Aku akan belajar
bersungguh-sungguh. Seusai mengisi paket data, bergegaslah aku ke rumah Putri.
Semua hampir mendetail langsung kuceritakan ke Putri
kejadian yang barusan aku alami. Reaksi yang sama, kami sepakat untuk tetap rajin
belajar apapun rintangannya. Akun pembelajaranku akhirnya berhasil diaktifkan
dengan bantuan Putri. Kami bertegur sapa melalui pesan elektronik dengan
teman-teman sekelas. Rindu terus memuncak di antara kami. Suatu saat aku yakin,
kerinduan ini akan terobati. Saat ini aku harus bertahan dan berjuang bersama rekan
sepantar. Aku yakin semua sudah sangat peduli hal ini. Doa tulus selalu terucap
agar pandemi ini cepat berhenti diganti dengan hari baru di mana senyuman terpatri
pada wajah penerus bangsa dengan banyak karya pada cerita di rumah saja.
*** TAMAT ***