
IMPIAN ANAK KAKI BUKIT (Karya: Nurlala)
Biodata
Penulis:
Salam
sejahtera bagi kita semua. Adil ka’talino, bacuramin ka’saruga, basengat
ka’jubata!
Para pembaca yang
saya hormati, perkenalkan nama saya Nurlala dari kelas X Bahasa, SMA Negeri 6
Palangka Raya. Saya lahir di sebuah kelurahan
yang merupakan salah satu dari bagian Kota
Palangka Raya, tepatnya di Tangkiling, pada tanggal 24
Oktober 2004. Tangkiling merupakan salah satu
daerah yang memiliki destinasi wisata dan ikon dari Kota Palangka Raya,
yaitu Bukit Tangkiling. Menulis merupakan hal baru bagi saya, tetapi saya mau
untuk belajar dan mencoba. Ini adalah tulisan pertama saya. Masih butuh
bimbingan dan juga nasihat. Semoga tulisan ini daapat bermanfaat bagi pembaca
dan khususnya bagi saya. Terima kasih.
Impian Anak Kaki Bukit
Karya: Nurlala (X Bahasa)
Syahdu semilir
angin berhembus, meraba kulit yang terbungkus rambut halus. Melambaikan dedaunan pohon cemara dan
rumput anak gajah yang tepapar di halaman lapang dan kosong. Namun, tak mampu
meredam suhu siang itu. Sang surya yang kini tepat di atas kepala, bersinar
terik tanpa ampun.
Langkahku
gontai saat menginjak selasar sekolah. Sepi, hening, tidak ada teriakan dan
senda gurau para siswa yang menjadi ciri khas dari setiap sekolah. Iya, saat
ini aku memang berada di sekolah. SMA Negeri 6 Palangka Raya adalah tempatku
menuntut ilmu demi meraih cita-cita. Sekolahku terletak dekat sebuah bukit yang terlihat jelas
berdiri kokoh dari persimpangan jalan masuk. Bukit Tangkiling, begitu orang menyebutnya.
Tujuanku
ke sekolah hari ini adalah untuk pengambilan seragam yang dibagikan oleh pihak
sekolah kepada siswa baru. Aku merupakan salah satu siswa baru tersebut. Saat
ini, aku duduk di bangku kelas X Bahasa yang dibimbing oleh wali kelas, yaitu Bpk. Glory Kriswantara. Walaupun disebut
kelas tapi selama ini kami beraktivitas secara virtual di dalamnya. Untung saja
aku masih mengenal wajah wali kelasku, yang setiap senin pasti muncul dalam
upacara daring.
Tiba-tiba,
ada suara yang memanggil namaku.
“La,
tunggu!” seru Rara kepadaku. “Nurlala, tunggu!” serunya lagi berteriak lebih
kencang dari sebelumnya, karena aku tidak mendengarnya.
“Eh,
Rara, kupikir tadi siapa?”, aku menghentikan langkahku.
Kini,
kami berjalan beriringan. Rara adalah salah satu teman sekelasku.
“Sepi,
ya, sekolah kita” Ujarnya
lagi.
“Iya,
tidak seperti sekolah biasanya” Balasku.
“Aku
merasa bosan di rumah terus” Katanya
dengan wajah murung.
“Kenapa?”
Tanyaku.
“Tidak
bisa bertemu teman-teman, bersenda gurau, dan bergosip ria,” Celotehnya.
“Iya,
ya. Dan kita juga tidak bisa mendapat teman baru,” tambahku.
“Kapan,
ya, kita mulai sekolah normal seperti biasanya? Aku rindu dengan teman-teman,
bermain dan bercengkrama bersama, atau hanya sekadar nongkrong di kantin,” Keluh Rara.
Aku
hanya tersenyum getir membalas ucapannya.
Sudah
beberapa waktu ini kami
bersekolah secara daring. Hal ini disebabkan karena adanya pandemi Covid-19
yang melanda negeri ini, bahkan melanda seluruh dunia. Segala aktivitas dibatasi
agar mencegah penyebaran Covid- 19 tersebut, tidak terkecuali di bidang
pendidikan.
SMA
Negeri 6 Palangka Raya pun menetapkan pembelajaran secara daring dan juga
menerapkan protokol kesehatan terutama 3M, yaitu pertama mencuci tangan pakai
sabun, kedua menggunakan masker saat beraktivitas, dan ketiga menjaga jarak
minimal satu meter. Jika ada kegiatan yang
mengharuskan hadir ke sekolah, sekolah
juga mempersiapkan fasilitas seperti tempat mencuci tangan dan sabun, memasang
spanduk peringatan penggunaan masker saat memasuki area sekolah, dan memberi
jarak tempat duduk di setiap kelas.
Kuedarkan
pandangan ke sekeliling sekolah. Mataku nanar mencari sesuatu. Tatapan kuhentikan pada sebuah
spanduk yang bertuliskan “Cegah Penyebaran Virus Corona Disease 2019
(Covid-19)” yang berlatar warna merah menyala dengan tulisan font besar berwarna kuning, dan di
sisinya terdapat gambar Bpk. Kepala SMA Negeri 6
Palangka Raya, yaitu Bpk.
Adriansyah, S.Pd., M.Pd.
Anganku
pun melayang dan hinggap pada hari-hari yang telah kulewati di masa pandemi.
Kami sebagai siswa harus belajar di rumah dengan menggunakan telepon pintar.
Waktu kami lebih banyak tersita menatap layarnya, bahkan seperti sudah sakau
akan gadget tersebut. Bagaimana
tidak? Di mulai dari daftar hadir, hingga tugas dan materi, juga pembelajaran
kami dapatkan melalui telepon pintar atau pun laptop. Kami mencari informasi
materi melalui internet. Bahkan, ada teman-teman yang menyalahgunakan gawai ini untuk bermain game.
Kami
semakin mahir dan lincah mengoperasikan benda tersebut. Teknologi memang sangat
berpengaruh besar saat ini untuk berbagai bidang. Terutama dalam menunjang
pendidikan. Namun di sisi lain, bagiku yang berasal dari keluarga sederhana,
penggunaan internet yang menggunakan pulsa atau pun kuota berbayar menjadi
salah satu kendala. Sebab, kedua orang tuaku yang bekerja serabutan tidak tentu
mendapatkan penghasilan dalam sehari. Sementara, kami bersaudara terdiri dari
empat orang yang semuanya masih bersekolah.
Orang
tuaku harus bekerja banting tulang dan tidak mengenal lelah untuk memenuhi
kebutuhan kami sehari-hari dan ditambah lagi pengeluaran ekstra untuk biaya
sekolah seperti pembelian kuota internet. Hatiku miris dengan keadaan ini. Aku
pun mengulang pertanyaan yang sama seperti pertanyaan Rara.
“Kapan
pandemi ini akan berakhir?” Gerutuku.
Rara
yang sedari tadi di sampingku menatap heran.
“Kenapa,
La?” Tanyanya mendengar desahan
gumamku yang samar.
“Oh,
tidak apa-apa,” Jawabku
kaget tersadar dari lamunan.
Kami
tiba di depan pintu berwarna coklat dengan papan nama bertuliskan “Ruang Lab. Komputer”. Ruang itu adalah
tujuan kami, tempat pengambilan seragam. Di sana sudah ada Ibu Averiana yang
menunggu kehadiran kami untuk penyerahan seragam.
“Selamat
siang, Bu!” Sapaku
dan Rara bersamaan kepada Ibu Averiana.
“Selamat
siang juga, Nak!” Balas
Bu Averiana.
“Bu,
kedatangan kami ke sini untuk mengambil seragam sekolah yang dibagikan untuk
siswa baru” Ujarku.
“Oh,
iya. Silakan, Nak! Ini baju kalian” Kata
Ibu Averiana sambil menyerahkan pakaian seragam kepada kami.
“Baik,
Bu. Terima kasih,” Ujar
kami bersamaan.
“Kami
pamit pulang, Bu. Selamat siang!” ujarku pamit yang diikuti oleh Rara.
“Selamat
siang!” Balas Ibu Averiana dengan ramah dari balik maskernya.
Kemudian,
kami keluar dari ruangan tersebut. Bersamaan kami melangkah menuju luar sekolah
dan kembali ke rumah kami masing-masing
dengan membawa harapan agar pandemi Covid-19 ini segera berakhir. Kami mengimpikan dapat menggunakan
pakaian seragam yang ada di genggaman kami saat ini tanpa masker dan jarak.
Kami ingin bersekolah kembali,
bertemu teman-teman, belajar bersama guru, dan meraih cita-cita kami tanpa
virus Corona.
*** Tamat ***